Bukti-bukti
itu sampai pada pendapat bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang
final dan ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam
hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat,
di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial dan invidu
dengan masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan agama
dalam masyarakat penuh dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative
atau menunjuk kepada hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
A. Fungsi agama
Dalam hal fungsi,
masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang
timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahakan
secara empiris karena adanya
keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama
menjalankan fungsinya sehingga
masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan
sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
a.
Fungsi edukatif.
Agama memberikan
bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris)
seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik
dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman
rohani, dsb.
b.
Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap
manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah
mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama
membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi”
atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini
manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup
mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan
dan Penyucian batin.
c.
Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama
sebagai kontrol sosial yaitu :
·
Agama meneguhkan
kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga
masyarakat.
·
Agama mengamankan
dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan
destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
d.
Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan
persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia
yang didirikan atas unsur kesamaan.
·
Kesatuan
persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism, komunisme, dan
sosialisme.
·
Kesatuan
persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung
dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
·
Kesatuan
persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam
persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja
melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam
dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
e.
Fungsi transformatif.
Fungsi
transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau
mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih
bermanfaat.
Sedangkan
menurut Thomas F. O’Dea
menuliskan enam fungsi agama dan masyarakat yaitu:
1.
Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
2.
Sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara
Ibadat.
3.
Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
4.
Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
5.
Pemberi identitas diri.
6.
Pendewasaan agama.
Sedangkan
menurut Hendropuspito lebih ringkas lagi, akan
tetapi intinya hampir sama.
Menurutnya fungsi agama dan
masyarakat itu adalah edukatif,
penyelamat, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan,
dan transformatif.
Agama memiliki
peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan
masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi
pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam
mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama
menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi
pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam
mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama
menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
B. Pelembagaan agama
Pelembagaan
agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi
struktur agama. Dimensi ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan
di dalam kehidupan sehari-hari. ejarah
mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi
melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan.
Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga
agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut
saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering
membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut)
yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru
ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa
baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya
terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di
Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi”
saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak
mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua.
Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa
memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata
masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu
agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap
kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas
itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku,
yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis,
umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula
pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah
dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan
siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa.
C. Agama konflik dan masyarakat
Secara sosiologis, Masyarakat agama
adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam
hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat
dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang
berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama
lain. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat
ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti)
rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk
keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan
inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal
keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang
muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan
Islam.Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah
multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal
ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri,
dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia. Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia
disebabkan oleh pertikaian karena agama.